JALURTENGAH.COM, PALOPO — Di tengah dinamika sosial yang kian kompleks, Kemanusa Palopo menggelar diskusi publik bertajuk “Penerapan Nilai Pluralisme dalam Konteks Keindonesiaan” di Warkop Kampis, Kota Palopo, Kamis (9/10/2025).
Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber lintas latar belakang: Pop Yakobus Komura, M.Th, Ihkwanul Febryan Dasri, Gede Satwikha, dan Bahder Balikh.
Diskusi tersebut bertujuan memperdalam pemahaman pluralisme sebagai fondasi kebangsaan dan kemanusiaan di tengah keragaman agama, budaya, dan suku di Indonesia.
Pop Yakobus Komura: Pluralisme adalah Kesadaran Hidup Bersama
Dalam pemaparannya, Pop Yakobus Komura, M.Th, menegaskan bahwa pluralisme merupakan kesadaran dasar manusia untuk hidup berdampingan dalam keberagaman.
“Dalam konteks Indonesia, pluralisme bukan hal baru. Sejak masa Kebangkitan Nasional tahun 1908 hingga Sumpah Pemuda 1928, semangat kebersamaan di atas perbedaan sudah menjadi identitas bangsa,” ujarnya.
Ia menambahkan, pluralisme tumbuh dari kesediaan menerima perbedaan sebagai realitas sosial, bukan ancaman. Nilai-nilai Pancasila, terutama sila kedua dan kelima, menjadi pilar penting dalam meneguhkan penghargaan terhadap kemanusiaan dan keadilan sosial sebagai landasan hidup bersama.
Ihkwanul Febryan Dasri: Fanatisme Sempit Mengaburkan Nilai Agama
Narasumber kedua, Ihkwanul Febryan Dasri, menyoroti pentingnya pluralisme dalam kehidupan beragama. Ia menegaskan bahwa tingkat tertinggi kemanusiaan justru terletak pada pemahaman agama yang menghargai sesama.
“Nabi Muhammad SAW tidak pernah memaksa orang untuk mengikuti agamanya, tetapi mengajarkan bagaimana saling menghormati. Fanatisme sempit justru menjauhkan kita dari nilai agama yang sejati,” tuturnya.
Ia juga mengutip pandangan Gus Dur, bahwa semua manusia lahir dari fitrah yang sama. “Keberagaman adalah kodrat manusia yang harus dijaga dengan cinta dan penghormatan terhadap kemanusiaan universal,” tambahnya.
Gede Satwikha: Tri Hita Karana dan Harmoni Semesta
Dari perspektif Hindu, Gede Satwikha menjelaskan bahwa pluralisme telah hidup lama dalam ajaran Tri Hita Karana — tiga sumber kebahagiaan yang menekankan harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam.
“Tri Hita Karana berarti tiga sumber kebahagiaan: hubungan harmonis dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama manusia (Pawongan), dan dengan alam (Palemahan). Semua itu adalah satu keluarga besar yang saling menghormati dan menjaga keseimbangan,” jelasnya.
Menurutnya, nilai-nilai tersebut sejalan dengan semangat persatuan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi harmoni sosial dan ekologis dalam keberagaman.
Bahder Balikh: Pluralisme sebagai Jalan Filsafat dan Kemanusiaan
Sementara itu, Bahder Balikh menekankan bahwa pluralisme tidak hanya bernilai sosial, tetapi juga memiliki dimensi filsafati dan teologis. Ia menjelaskan tiga pandangan utama dalam teologi agama: eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.
“Eksklusivisme memandang hanya satu agama yang benar, inklusivisme mengakui ada kebenaran dalam agama lain, sedangkan pluralisme melihat semua agama sebagai jalan sah menuju realitas yang sama,” ujarnya.
Ia mengutip pemikiran John Hick, filsuf agama modern, yang menyatakan bahwa semua keyakinan merupakan cara manusia memahami hakikat transenden. Namun, Bahder menegaskan bahwa pluralisme di Indonesia lebih menekankan nilai-nilai sosial dan humanistik.
“Kita boleh berbeda dalam ajaran, tapi memiliki Tuhan yang sama. Kita boleh melihat langit yang sama dari tempat berbeda-beda,” katanya.
Meneguhkan Persaudaraan dalam Perbedaan
Diskusi publik ini menyimpulkan bahwa pluralisme di Indonesia bukan sekadar teori, tetapi praksis sosial dan spiritual yang meneguhkan nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika — berbeda-beda tetapi tetap satu.
Pluralisme menjadi jalan untuk memperkuat kehidupan kebangsaan dengan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan sumber perpecahan.
Acara ditutup dengan penyerahan piagam penghargaan kepada para narasumber oleh panitia Kemanusa Palopo sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi pemikiran mereka dalam memperkuat kesadaran pluralisme di Indonesia.
Penulis: Andi Al-Quhwais Y.A
Redaksi: Kemanusa Palopo






